Featured Post

Berikut ini Beberapa Mitos Seputar Anak Kecil Yang Beredar di Masyarakat

Menyikapi Tradisi Memberikan Sumbangan Di Acara Pernikahan

Bagaimana islam menyikapi Tradisi yang terjadi di masyarakat, tentang kebiasaan memberikan sumbangan uang atau barang di acara pernikahan?


Sumbangan Pernikahan
Menyikapi Tradisi Memberikan Sumbang Di Acara Pernikahan


Untuk melengkapi penjelasan dari pertanyaan tersebut, berikut ulasan tentang walimah.


Macam-macam Walimah

Walimah adalah nama bagi setiap undangan atau makanan yang dibuat karena kegembiraann yang datang atau lainnya. Akan Tetapi, pada umumnya kata "walimah" dimaksudkan untuk resepsi pernikahan atau

walimatul ursy.

Di dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa walimah yang disyariatkan dalam Islam ada sepuluh:

  1. Walimah kelahiran, dan disebut khors,
  2. Aqiqah, yaitu walimah untuk hari ketujuh dari bayi lahir, dan biasanya disertai dengan pemberian nama pada anak yang lahir,
  3. Hidzaq, yaitu walimah untuk orang yang hafal al-Qur'an,
  4. Naqi'ah, yaitu walimah untuk orang yang datang dari bepergian jarak jauh,
  5. Wakirah, yaitu walimah untuk mendirikan bangunan (rumah atau lainnya),
  6. I'dzar, yaitu walimah untuk menghitan anak lelaki atau perempuan,
  7. Wadlimah, yaitu walimah untuk orang yang meninggal atau orang yang tertimpa musibah,
  8. Imlak, yaitu walimah untuk akad nikah, (9) ursy, walimah untuk dukhul (artinya suami istri yang sudah melakukan hubungan badan),
  9. Ma'dubah, yaitu walimah yang diadakan tanpa ada sebab apapun.

Semua walimah yang telah disebut dalam bahasa jawa biasanya diistilahkan dengan selamatan.

Hukum Walimatul Ursy

Walimah ursy, sunnah itu dilakukan oleh setiap orang yang menikah, bahkan menurut sebagian ulama dikatakan sunnah muakkad. Sebab, Nabi pernah mengadakan walimah, juga menyampaikan tentang walimah ursy. Adapun waktu yang sangat dianjurkan dan sunnah menyelenggarakan Walimah Ursy adalah setelah akad nikah dan setelah kedua mempelai melakukan persetubuhan.


Kemudian, bagaimana dengan menghadiri undangan walimah? Bagi orang yang mendapat undangan menghadiri walimah yang diselenggarakan setelah akad nikah dan setelah pengantin melakukan senggama, wajib hukum mendatanginya. Tentu dengan catatan tidak ada udzur yang diterima secara syara'. Termasuk udzur adalah adanya kemaksiatan di tempat acara yang tidak berhenti ketika undangan datang.

Adapun walimah yang sering terjadi di masyarakat biasanya dilakukan sebelum akad nikah, bahkan jika nanti dikaitkan dengan akad nikah. Dalam fikih, walimah yang demikian tidak disebut walimah ursy. Jadi, menurut fikih tidak wajib menghadiri undangan Walimah dengan cara demikian (l'anah Talibin, 3: 358).


Dalam tradisi masyarakat kita, Walimah Ursy biasanya dimaksudkan untuk mengadakan acara pernikahan salah satu anggota keluarga. Kadang juga digunakan sebagai sarana silaturahim, kumpul kerabat, tetangga, dan sahabat dekat. Selain itu juga berarti memperkenalkan salah satu pasangan suami istri yang akan, sedang, atau baru saja melangsungkan akad nikah.

Bagi orang yang memiliki harta yang cukup, mengadakan walimah yang demikian mungkin dirasa biasa, tanpa merasa terbebani, dan tidak membebani orang lain dalam hal biaya. Bedahalnya dengan masyarakat kelas bawah atau mungkin kelas menengah ke bawah, mengadakan walimah ursy terkadang harus didahului dengan susah payah, karena kekurangan biaya dan modal. Mereka biasanya sudah menabung dengan cara memberi hutangan uang atau lainnya pada tetangganya dan atau saudaranya yang sebenarnya telah mengadakan walimah. Dengan harapan pada saat dirinya mengadakan walimah sudah memiliki simpanan uang atau barang, seperti gula, sebagai bekal walimah. Jadi secara umum orang yang akan mengadakan walimah berarti dihadapkan pada satu persoalan yang cukup membuatnya rumit dan membutuhkan tenaga, pikiran, dan harta yang cukup. Orang yang demikian sudah sewajarnya dan sepantasnya untuk mendapatkan bantuan dan pertolongan hususnya dari orang-orang dekatnya; saudara dan semua kerabatnya, para tetangga, teman dekatnya, dan mungkin semua orang yang mengenalnya. Bantuan tersebut bisa berupa tenaga dan yang lain, hususnya finansial.

Namun, fenomena yang berkembang di masyarakat mengenai undangan walimah yang biasanya disertai salam templek kepada yang punya hajat dan atau kepada pengantin, kelihatannya cukup bervariasi dan beraneka ragam. Jika dilihat dari indikasinya, seperti pada kertas amplop sering ditemukan ada nama orang yang memberi, dari pihak tuan rumah biasanya juga mencatat jumlah uang atau barang yang diterima dari orang yang membawa, bahkan memang terkadang ada yang dengan terus terang menyatakan bahwa uang atau barang tersebut memang sengaja di hutangkan. Fenomena yang demikian biasanya mengarah pada transaksi memberikan hutangan.

Menyikapi persoalan ini, ulama berbeda pendapat, sesuai adat-istiadat yang berkembang di masyarakat, seperti di atas. Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, uang yang diterima dari para undangan walimah tetap dihukumi hibah (pemberian tanpa imbalan), sekalipun sudah terbiasa mengembalikan yang sama (Fathul Mu'in 72).

Sebagian ulama yang lain memerinci:

uang tersebut termasuk hibah, jika tidak ada tradisi memintanya kembali, dan hal itu tentu berbeda antara satu orang dengan lainnya, jumlah uang yang diterima ikut mempengaruhi, dan satu tempat dengan lainnya juga berbeda. Dan jika tidak demikian, maka dihukumi sebagai uang pinjaman (hutang).

Kemudian, jika merujuk pada pendapat Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar, orang yang telah memberikan uang (yang mendatangi walimah) tidak diperbolehkan meminta kembali uang yang diberikan pada orang yang mengundangnya dalam acara walimah, kecuali jika memenuhi tiga syarat:

(1) Pada waktu memberikan disertai dengan ucapan "ambillah",

(2) pada waktu memberikan memang berniat akan memintanya kembali,

(3)  memang ada tradisi untuk memintanya kembali (I'antut-Tholibin, 3:53).

Untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan dalam keluarga, bertetangga, dan bersahabat, sebaiknya orang yang diundang walimah, jika pernah mengundang sebelumnya, dan orang yang mengundangnya memberikan sejumlah uang pada saat itu, sebaiknya juga memberikan sejumlah uang (minimal sama jumlahnya). Dengan harapan untuk menghindari terjadinya fitnah, sekalipun secara hukum fikih masih terjadi silang pendapat antara ulama.


Referensi 

Hasyiah Syarqawi ala-at-Tuhfatuttulab, bab walimah

l'anah al-Tolibin 3/153,

Hasyiah Syarqawi ala-at-Tuhfatuttulab 2: 342.


Komentar