Featured Post

Berikut ini Beberapa Mitos Seputar Anak Kecil Yang Beredar di Masyarakat

Sejarah Singkat Tentang Sholat dan Isra'Mi'raj

Pemberlakuan kewajiban shalat lima waktu, menurut pendapat masyarakat, berawal dari peristiwa fenomenal yang mengguncang kota Mekkah pada masa awal perkembangan Islam. Peristiwa tersebut dikenal dengan Isra' dan Mikraj dan tercatat dalam Al Qur'an dalam surat al-Isra' [17]: ayat 1.

Orang shalat
Sejarah Singkat Tentang Shalat 

Menurut pendapat umum, peristiwa ini terjadi pada malam tanggal 27 Rajab. Pendapat lain menyebutkan terjadi pada Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Syawal, dan ada pula yang mengira pada bulan Dzulhijjah tepatnya pada malam Jum'at.

Tentang perintah shalat lima waktu dapat dibaca dari hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. 

فرض الله على أمتي ليلة الإسراء خمسين صلاة فلم أزل أراجعه وأساله التخفيف حَتَّى جَعَلها خَمْسًا فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

Artinya: “Allah mewajibkan umatku untuk shalat 50 shalat pada malam Isra’. Maka aku kembali berkali-kali dan meminta keringanan, hingga Allah menjadikannya lima kali sehari semalam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Peristiwa itu terjadi satu tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah. Ada juga yang berpendapat satu tahun enam bulan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Dan ada pula yang meyakini bahwa Isra' dan Mi'raj terjadi 3 tahun sebelum Nabi hijrah.

Mengenai penurunan dari angka 50 menjadi 5 kali, dalam sehari merupakan belas kasih Nabi SAW kepada kaumnya yang diselimuti oleh sifat malas dan nafsu. Sebab, kewajiban 50 kali sehari semalam adalah syariat orang-orang terdahulu. Di sinilah, menurut pendapat muktamad, pengurangan kewajiban shalat dimasukkan dalam bab naskh bagi umat Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, berarti konsep Nasikh (yang menghilangkan) Mansukh (yang dihilangkan) yang baru dikenal pada masa Mujtahidin, sudah ada sebelum turunnya hukum oleh Nabi.

Namun, meskipun kewajiban shalat telah dipangkas bukan berarti tidak diberlakukan lagi. Sebab, beragamnya syariah dalam shalat sunat seperti Rawatib, Tahajud, Dhuha dan lain sebagainya, dinilai bersumber dari kewajiban shalat yang asalnya 50 tersebut. Sebagaimana yang telah dituturkan oleh Imam as-Suyuthi (w. 911 H), andaikan semua shalat, baik yang fardu ataupun sunnah kita kerjakan maka akan kita temukan 100 rakaat. Kemudian, dari 100 rakaat ini jika kita kerjakan dua rakaat-dua rakaat, maka terdapat 50 kali shalat. Analisis as-Suyuthi ini, selaras dengan data yang menjelaskan bahwa semua shalat diturunkan dua rakaat dua rakaat. Hanya saja, di kemudian hari ada penambahan untuk Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya'. Dalam sebuah hadits yang datangnya dari Siti Aisyah dijelaskan:

فرضت الصلاة ركعتين ركعتين في الخضر والمقر فأقرت صلاة المقر وزيد في صلاة الخضر


Artinya: "Shalat (awalnya) diwajibkan dua rakaat dua rakaat diwaktu menetap di rumah dan perjalanan, yang lantas ditetapkan menjadi shalat safar dan ditambahkan ketika dalam shalat menetap di rumah." (H.R: Imam Malik).

Konon, lima waktu yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW ini merupakan kombinasi dari shalat-shalat nabi-nabi terdahulu. Seperti halnya shalat Subuh adalah shalat Nabi Adam AS, Zhuhur shalat Nabi Dawud AS, Ashar shalat Nabi Sulaiman AS, Maghrib shalat Nabi Isa AS, dan Isya' Shalat Nabi Musa AS. Namun menurut pendapat yang shaheh seperti yang diungkapkan oleh Imam as-Suyuthi, shalat Isya' adalah shalat yang dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Juga menurut pendapat yang berbeda, shalat Zhuhur adalah shalat Nabi Ibrahim AS, Ashar shalat Nabi Yunus AS, dan ada pula yang mengatakan shalat Nabi Uzair AS, Maghrib shalat Nabi Dawud AS. dan ada pula yang mengatakan shalat Nabi Ya'qub AS, dan Isya' shalat Nabi Yunus AS, sedangkan shalat Shubuh ulama sepakat bahwa ia adalah shalat Nabi Adam AS.

IBADAH SEBELUM ISRA'-MIKRAJ

Ulama' berbeda pendapat mengenai ibadah apa yang dilakukan setelah dinobatkan menjadi nabi dan utusan, apakah beliau mengikuti ibadah para Nabi pendahulunya, atau syariat lain? Menurut pendapat sekelompok ahli fikih yang dipilih oleh Ibnul-Hajib, bahwa beliau tetap diperintah untuk mengutip atau mengikuti syari'at Nabi sebelumnya. (al- Ibhaj fisyarhil minhaj)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin Umair bahwa Rasulullah SAW, sebelum diutus sebagai utusan, setiap tahun beliau beribadah di gua hira selama satu bulan. Tradisi seperti ini biasa dilakukan oleh kaum Quraisy pada masa Jahiliyah. Menurut Ibnu al-Atsir, orang yang pertama kali membuat tradisi tersebut adalah kakek Nabi, yaitu Abdul-Mutthalib. Beliau melakukannya disetiap bulan ramadhan, menyendiri di gua Khira', serta memberi makan para fakir miskin.

Sejak kecil, Nabi, SAW, senang menyendiri dan beribadah. Begitu juga setelah menikah dengan Sayyidah Khodijah. Menurut sebagian ulama, ibadah yang dilakukannya saat itu adalah tafakkur dan menjauhi semua orang. Sebab, hal ini dapat mendorong pada kekhusyu'an. Ada juga yang menyatakan bahwa ibadahnya saat itu adalah berdzikir. Ada pula yang berpendapat bahwa ibadah yang dilakukannya sebelum menjadi nabi dan rasul mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya, yang belum dinasakh, seperti syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim. Pendapat ini juga disampaikan oleh Syekh Muhyiddin Ibnul-'Arabi. Menurutnya, Nabi, saw, mengikuti syariah Nabi Ibrahim sampai wahyu datang kepadanya.

Selanjutnya, di dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari disebutkan, sekelompok ulama' berpendapat bahwa sebelum peristiwa Isra' dan Mi'raj, tidak ada satu pun shalat yang diwajibkan kepada beliau dan umatnya. Yang ada hanyalah perintah melakukan qiyamul-lail tanpa ada batasannya, sebagaimana disebutkan dalam al- Qur'an:

قم الليل إلا قليلا (۲) نصفه أو انقص منه قليلا (۳) او زدْ عَليْهِ ورتل القرآن ترتيلا (٤)

Menurut sahabat Ibnu 'Abbas, Qiyamullail dulunya diwajibkan kepada Rasulullah berdasarkan ayat tersebut. Namun, pada akhirnya kewajiban tersebut dibatalkan dan diganti dengan kewajiban melakukan shalat lima waktu, sebagaimana disebutkan pada bagian akhir didalam surah tersebut.

Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa sebenarnya sebelum peristiwa Isra'-Mi'raj, sudah ada perintah melakukan shalat dua raka'at pada waktu pagi dan sore hari. Menurut pendapat yang dikutip oleh al-Imam as-Syafi'i, dari sebagian ahli al-ilmi bahwa sebelum peristiwa Isra'-Mikraj sebenarnya sudah diwajikan shalat, kemudian kewajiban ini di nasakh, dibatalkan.

Lantas, bagaimana untuk menjelaskan shalat yang dikerjakan oleh Nabi saat peristiwa isra' mi'raj bersama para malaikat dan arwah para nabi, bahkan disebutkan Nabi menjadi imar ketika itu?. Untuk hal ini, sebagaimana dikutip oleh Syekh Sulaiman bin Muhammad bin 'Amr al- Bujairámi asy-Syafi'i al-Azhari (w. 1221 H.), Syekh Zakariya al-Anshari (926 H) menjelaskan, bahwa ibadah Nabi Muhammad SAW sebelum diutus adalah selama satu bulan penuh berada di goa Khira' berlam-lama memikirkan keagungan Allah dan memuliakan orang-orang lewat dan bertamu di goa itu. Kemudian, setelah terutus menjadi seorang nabi, Rasulullah SAW melakukan shalat dua rakaat di pagi hari dan dua rakaat di sore hari. Pendapat al-Anshari ini juga dikuti oleh Imam al-Birmawi (w.816 H.). Jadi, apa yang dijalankan oleh nabi bukan shalat lima waktu seperti yang diwajibkan setelah Isra' melainkan semacam shalat sunnah, dan kenyataannya tidak dijumpai keterangan pasti mengenai bentuk shalat nabi tersebut.


Dalam kitab-kitab fikih disebutkan ketika membahas rukun shalat berupa rukuk dan sujud, bahwa tata cara shalat yang terdapat rukuk dan sujud yang dipraktikkan selama ini merupakan kekhususan umat Nabi saw. Hal ini memberikan pemahaman bahwa shalat yang dilakukan para Nabi sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memang tidak terdapat rukuk dan sujud di dalamnya, termasuk shalat yang dilakukan di Baitul Maqdis pada saat Nabi Isra’.

Menurut al-Imam as-Suyuti, hal tersebut dibuktikan dalam satu riwayat hadits yang menyebutkan bahwa pada waktu zhuhur hari pertama setelah peristiwa Isra', Nabi saw melakukan shalat tanpa rukuk dan sujud, dan sebelum itu beliau memang demikian. Akan tetapi, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa mungkin saja ruku' (dalam ibadah) sudah disyari'atkan pada sebagian Nabi sebelumnya. Hanya saja beliau diperintah shalat yang disertai dengan ruku' dan sujud pada saat setelah peristiwa Isra' dan Mikraj.

Pendapat ini, memiliki penguat sebagaimana dalam al-Qur'an yang menyebutkan:

يَا مَرْيَمُ النَّتِي لِرَبِّكَ وَاسْجُدِي وَاركَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
 [آل عمران : ٤٣]

Akan tetapi menurut sebagian ulama' pengertian ruku' dalam ayat tersebut adalah mendekatkan diri kepada Allah, atau apa yang dimaksudkan sebagai shalat bukan ruku' sebagaimana selama ini dikerjakan oleh umat muslim.

Referensi;
Hasyiyah al-Jamal, 2:45,
Nihayah al-Muhtay, 4:37,
Hasyiata al-Qulyubi, 2:7-8

Komentar