Featured Post

Berikut ini Beberapa Mitos Seputar Anak Kecil Yang Beredar di Masyarakat

Kawin Lari Solusi Cinta Tak Direstui, Bagaimana Islam Menyikapi


Kawin lari solusi cinta tak direstui. bagaimana islam menanggapinya
Gambar hanyalah ilustrasi


PERNIKAHAN merupakan momentum yang paling mengesankan dalam kehidupan bagi setiap insan, dimana dua sejoli bisa saling menumpahkan cinta dan berbagi rasa dengan halal. Pernikahan juga merupakan langkah nyata untuk membuktikan perasaan cinta yang meng gelora. Namun alangkah sayangnya, ketika  cinta tak direstui oleh orang tua. Disinilah seseorang akan dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama menyakitkan, antara meraih restu orang tua atau menggapai pasangan tercinta secara paksa. Sampai saat ini, hal semacam ini tetap menjadi problem yang terkadang justru membuat seseorang terjebak dalam jurang kebinasaan.

SECARA FIKIH, ADAKAH KONSEP KAWIN LARI?

Dalam kitab fikih tidak ada bahasa yang namanya kawin lari. Akan tetapi kalau konsep tab'id 'anil wâli (jauh dari wali) ada. Kalau tidak ada apakah praktik kawin lari itu sah?.

Dalam konsep nikah jauh dari wali' syaratnya yang penting terjadi ta'asur (sulit dikawinkan oleh wali), baik kerena walinya ada di tempat yang jauh, dipenjara dan semacamnya. Hal ini berdasarkan suatu rumusan fikih "Jika wali nikah itu masih ahlan lil inkah (memenuhi syarat menjadi wali nikah) tapi sulit untuk dirembuk dengan beberapa alasan, maka wali nikahnya pindah kepada hakim. Dan, jika walinya tidak ahlan lil inkâh maka pindah ke wali ab'ad".

Jadi, praktik kawin jauh dari wali (kawin lari) itu sah jika wali masih ahlan lil inkâh, tetapi ada ta'asur (kesulitan), baik ta'assur itu disengaja atau tidak. Dan dalam fikih tidak memandang itu. La farqa baina ba'ada au ba'uda 'anil wali, (sengaja dijauhkan dengan melarikan diri dari wali atau tidak). Yang penting terjadi ta'asur dan sulit dimurajaah (berunding) sudah diperbolehkan.


HAKIM DI INDONESIA ITU SIAPA?

Lantas siapa yang akan menikahkan atau yang bisa menjadi wali jika wali dari mempelai wanita tidak bisa?.

Dalam konteks Indonesia adalah KUA (Kantor Urusan Agama), bisa menjadi wali nikah, apabila untuk kawin kepada wali terjadi ta'asur atau walinya sudah dianggap udlûl.

permasalahan berikutnya adalah terkadang kawin lari tidak pada KUA, melainkan pada tokoh masyarakat?

Dalam aturan fikih, kalau sudah tidak ada hakim (KUA) atau ada namun ia tidak mau menikahkan kecuali dengan membayar uang adminstrasi yang memberatkan, maka kedua mempelai boleh mengangkat hakim (muhakkam) untuk menjadi wali nikah. Jadi, sebelum mengangkat muhakkam, harus mencari dan medatangi KUA terlebih dahulu.


APA SYARAT MENJADI MUHAKKAM?

Kalau mengikuti keterangan yang ada dalam kitab Bughyatul Mstarsyidin, muhakam itu sama dengan hakim, artinya harus sama-sama mujtahid. Hanya saja melihat zaman seperti sekarang, menurut Imam al-Ghazali yang panting fâqih walau binnisbah (orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum fikih).

Biasanya dua pasangan yang melakukan kawin lari, karena tidak mendapat restu dari orang tuanya. Apakah persetujuan orang tua merupakan syarat sahnya perkawinan?

Dalam pandangan mazhab Imam Hanafi tidak membutuhkan, karena pernikahan itu akad mahdhoh (transaksi murni) sama dengan akad lain seperti jual beli dan lain-lainnya. Ini karena yang mau melakukannya dirinya sendiri jadi tidak perlu izin orang tua, kalau dalam sebuah akad dikenal ini dengan istilah taradhin (sama-sama rela).

Namun menurut Imam Syafi'i, pernikahan itu bukan akad mahdhoh (transaksi murni), akan tetapi merupakan sya'ibatun lil 'ibadah (ada unsur ibadah). Oleh sebab itu pernikahan itu memiliki persyaratan ketat, salah satunya adalah harus ada restu orang tua dari mempelai wanita, dan itu sebabnya dalam nikah itu disebut wali bukan orang tua.


Jadi, sekarang pandangannya, apakah pernikahan itu sya'ibatun lil ibadah (ada unsur ibadah) atau mu'awadhah mahdhah (murni transaksi). Kalau kita mengikuti Imam Hanafi ya enak, tapi kalau dipraktikkan malah bahaya.

Nah, dalam hal ini, kalau kita mau men-tarjih maka pendapat yang mukhtar (yang dipilih) adalah pendapat Imam Syafi'i. Pendapat al-mukhtar dalam fikih bukan berarti pendapat râjih (unggul). Tetapi pendapat al-mukhtar adalah yang pendapat lebih efektif dan layak pakai. Apalagi zaman seperti sekarang ini, kalau mengikuti Imam Hanafi malah bahaya.


APA SISI NEGATIF DAN POSITIF KAWIN LARI?

Sisi positifnya bisa terhindar dari zina. Dan sisi negatifnya banyak, diantaranya tidak sinkron dengan orang tua, padahal Allah mewajibkan seseorang untuk taat kepada orang tua. Keridhaan Allah adalah dengan keridhaan orang tua.


APAKAH MENIKAH TANPA IZIN ORANG TUA TERMASUK DURHAKA?

Sebenarnya, masalah durhaka dan tidaknya tidak sampai berpengaruh terhadap sah dan tidaknya akad nikah. Sah dan tidaknya pernikahan itu tergantung apakah tempat akadnya dilaksanakan di tempat yang jauh dari wali atau tidak.

Tentang masalah durhakanya, ulama masih berbeda pendapat. Menurut keterangan dalam kitab Is'âdur Rafiq, pernikahan tanpa restu orang tua termasuk tindakan durhaka, dengan catatan tidak adanya restu dari mereka tidak disebabkan alasan-alasan yang syafahi linafsin (alasan-alasan bodoh). Jadi, jika orang tua tidak merestui disebabkan alasan yang syafahi linafsin, maka tidak termasuk durhaka.

Kalau kita pandang secara fikih sosial maka pendapat yang muhktar pernikahan harus ada restu orang tua.

Di sini kita tidak berbicara tentang sah atau tidak, durhaka atau tidak, tetapi yang jelas restu orang tua sangat mempengaruhi kebahagiaan seorang anak.


Meski dalam agama bisa diperbolehkan dengan syarat yang ada. Namun, hendaknya mengikuti pendapat al-mukhtar yang menyatakan bahwa hal itu tidak mungkin.

APA SOLUSINYA JIKA HAL INI TERJADI?

Ketika seorang anak berbeda pandangan dengan orang tua dalam memilih pasangan hidupnya haruslah diselesaikan secara kekeluargaan, yaitu dengan cara melakukan musyawarah antara anak dan orang tua dengan melibatkan orang yang disegani oleh anak dan orang tua. InsyaAllah dengan musyawarah, kalau anak memang tidak bisa dipisahkan, maka dilihat apakah itu dari hati nurani atau kena guna-guna. Di sini orang tua harus tanggap, kalau karena guna-guna orang tua bisa mencari obatnya. Namun jika karena hati nuraninya, orang tua perlu mempertimbangkan. Sebab kalau hati nurani yang berbicara biasanya tidak begitu bermasalah, tetapi kalau karena guna-guna maka tidak lama akan menyesal.


Antara anak dan orang tua harus tidak saling berpegang teguh pada haknya masing-masing. Tetapi haruslah sama-sama melihat kepada kewajibannya masing-masing. Orang tua wajib mendidik anak, dan anak berkewajiban taat kepada orang tua. Jangan sekali-sekali orang tua memaksa kehendak anak. Jadi selesaikanlah dulu secara kekeluargaan.

Semoga bermanfaat.

Komentar